KETUA Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Prof Dr Din Syamsuddin menegaskan perlunya dilakukan manajemen ide di tengah keragaman pemikiran yang teramat kaya dalam tubuh organisasi kemasyarakatan ini. Hal itu ia sampaikan di hadapan para aktivis Jaringan intelektual Muhammadiyah (JIMM) pada pembukaan kegiatan Tadarus Pemikiran Kaum Muda Muhammadiyah di Aula BAU UMM, Kamis lalu (18/7).
Kekayaan pemikiran tersebut, menurut Din, di antaranya dilatari oleh karakter Muhammadiyah yang cenderung egaliter. “Hal itu lumrah terjadi, karena basis utama warga Muhammadiyah adalah kalangan berpendidikan,” ujarnya.
Karena itu, Din mengapresiasi kiprah intelektual kaum muda Muhammadiyah sebagai bagian dari corak keragaman itu. Bagi Din, yang menjadi ciri khas Muhammadiyah adalah moderatisme atau al-wasathiyyah, yaitu titik tengah antara liberalisme dan konservatisme. Salah satu wujud dari al-wasathiyyah itu adalah adanya ruang dialog yang terbuka antara pihak-pihak yang memiliki keragaman pola pikir.
Selain itu, Din menyebut kehadiran kaum intelektual sebagai suatu hal yang niscaya karena menurutnya setiap gerakan aksi itu pasti ada dasar pemikirannya. “Nah dalam konteks Muhammadiyah, ini relevan karena basis kita adalah praksisme, yaitu memadukan antara ide dan aksi,” jelasnya.
Din menyebutkan, sebenarnya gairah intelektual adalah hal yang menyejarah dalam Islam. Hal itu, menurutnya, ditampilkan dengan gemilang oleh para ilmuan Islam abad pertengahan.
Dalam konteks ini, bagi Din, sebenarnya ruang-ruang keilmuan adalah hal yang tidak terputus dan melintasi peradaban. Din mencontohkan, kejayaan ilmu pengetahuan Islam di abad pertengahan tak luput dari pemikiran filsafat era Yunani. Demikian pula, lanjutnya, kejayaan Barat tak lepas dari upaya mereka untuk belajar dari khazanah peradaban Islam.
“Karena itu, kalau mau maju, kita juga harus mau ambil ilmu itu dari Barat. Artinya kita perlu belajar ilmu-ilmu mereka,” tandasnya.
Sayangnya, kata Din, saat ini tidak banyak pusat-pusat intelektualisme di kalangan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) sebagai salah satu embrio kader persyarikatan. “Di Muhammadiyah sendiri, dulu sebenarnya ada think tank seperti Pusat Studi Agama dan Peradaban (PSAP) dan Maarif Institute, tapi karena kurang serius jadinya berhenti,” paparnya.
Karena itu, Din berharap JIMM tidak hanya kuat dalam bidang pemikiran, tapi juga harus taktis. Baginya, jika tidak taktis, maka pengaruh JIMM akan kurang terasa. “Selain itu, di Perguruan Tinggi Muhammadiyah (PTM), khususnya kampus-kampus besar, center of excellence-nya juga harus maju, agar gerakannya bisa lebih kuat,” ujar Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) ini.
Sementara itu Rektor UMM Dr Muhadjir Effendy MAP mengungkapkan, keragaman pola pikir dalam Muhammadiyah terkadang hanya sebatas stereotype. “Terkadang, orang yang kita nilai buruk ternyata lebih baik yang kita kira, dan orang yang kita anggap baik ternyata tidak sebaik yang kita sangka,” kata Muhadjir seraya memandang perlunya pemikiran yang terbuka.
Bagi Muhadjir, sebenarnya embrio intelektual yang inklusif, yaitu yang membuka diri terhadap keragaman, telah ada sejak Muhammadiyah lahir. Hal itu ia misalkan dengan kiprah pendiri Muhammadiyah, Ahmad Dahlan, yang menjadi anggota istimewa Boedi Utomo. “Dahlan juga menawarkan diri untuk mengajarkan agama di sekolah non-Muslim, dan hal itu diapresiasi oleh para pastur kala itu,” ujarnya.
Terkait pengembangan intelektual di kampus, Muhadjir menilai UMM memiliki apresiasi khusus pada hal tersebut. Namun bedanya, hal itu tidak selalu berwujud intelektual imajinatif, namun lebih bersifat akademis, semisal penguatan riset.
Muhadjir menggagap para periset itu sebagai intelektual selama mereka berpikir kritis serta berperspektif pembaruan dan pencerahan. “Karena kebaruan itulah, UMM masuk dalam 14 besar kampus dengan penelitian terbaik. UMM menciptakan hal-hal baru dalam riset pertanian, ketahanan pangan, serta energi terbarukan,” terangnya. (han)
Leave a comment